Pengertian HAKI
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang
diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya
ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk.
Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin :
1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan
hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi,
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan Dan sebaginya Yang
tidak mempunyai bentuk tertentu
Dasar Hukum
1.
Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (WTO)
2.
Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan.
3.
Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
4.
Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
5.
Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris
Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization
6.
Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark
Law Treaty
7.
Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
8.
Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO
Copyrights Treaty.
Secara Umum HAKI dibagi dua yaitu:
1. Hak Cipta.
2. Hak Kekayaan Industri, meliputi:
·
Paten
·
Merek
·
Desain Industri
·
Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
·
Rahasia Dagang, dan
·
Indikasi
Industri Kreatif Perlu HAKI
Industri kreatif Indonesia membutuhkan
perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang lebih kuat. Kerangka
hukum HAKI yang kuat akan melindungi dan mendorong inovator Indonesia untuk
mengembangkan ide baru, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi
terhadap perekonomian Indonesia.
"Pembajakan
desain di bidang Industri Kreatif bukan merupakan hal baru dan bak jamur di
musim hujan, kegiatan ini tanpa segan dan malu terus bertambah banyak. Padahal
Kontribusi dan pertumbuhan Industri Kreatif terhadap perekonomian nasional
terus naik.”
Alasan produsen
membajak karya orang lain bermacam-macam. Demikian pula halnya dengan alasan
konsumen membeli produk bajakan. Di satu sisi produsen yang melakukan
pembajakan berdalih bahwa desainnya ada perbedaan dengan desain produk
yang asli, meskipun perbedaan itu hanya sedikit, bahkan sering kali pembajakan
dilakukan secara terang-terangan dan meyerupai dengan produk aslinya.
Disisi Lain, daya beli konsumen semakin lama semakin menurun
karena desakan krisis ekonomi dan tingginya biaya hidup sehari-hari, namun
ibaratnya tidak mau “mati gaya” konsumenpun tidak ambil pusing apakah produk
yang mereka pakai adalah produk asli ataupun produk bajakan.
Dua sisi inilah yang kemudian menjadikan produk-produk bajakan
laku di Indonesia, yang kemudian menjadikan adanya kesan bahwa bangsa Indonesia
sebagai bangsa plagiat. Peran HAKI di Industri Kreatif sangatlah besar
karena akan memacu akselerasi Industri Kreatif jika dijalankan dengan baik.
Industri kreatif
Indonesia membutuhkan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang lebih
kuat. Kerangka hukum HAKI yang kuat akan melindungi dan mendorong inovator
Indonesia untuk mengembangkan ide baru, yang pada gilirannya akan memberikan
kontribusi terhadap perekonomian Indonesia.
Meskipun industri
kreatif berpotensi untuk tumbuh dan semakin membutuhkan perlindungan karena
masih harus menghadapi beberapa tantangan. "Produk media optik bajakan,
seperti CD, VCD, DVD, dan CD-ROM, masih mendominasi pasar Indonesia,"
sebutnya.
Sedikitnya ada 27
pabrik di Indonesia yang memproduksi produk media optik. Dengan total kapasitas
setiap tahunnya mencapai 108,5 juta cakram, produksi produk bajakan dalam
negeri terus mengalami peningkatan. Sementara angka pembajakan perangkat lunak
di Indonesia mencapai 84 persen pada tahun 2007, menempatkan Indonesia pada
urutan ke 12 dari 108 negara pelanggar terberat. Posisi ini menunjukkan
perbaikan dibanding tahun sebelumnya, dengan angka pembajakan sebesar 85 persen
yang menempatkan Indonesia di urutan ke 8, berdasarkan survey tahunan yang
dilakukan oleh International Data Corporation (IDC) and Business Software
Alliance (BSA).
Penelitian tersebut
juga menyebutkan bahwa Indonesia seharusnya mampu menyediakan 2.200 lapangan
pekerjaan baru, menghasilkan 1,8 miliar dollar AS pertumbuhan ekonomi dan 88
juta dollar AS pendapatan pajak jika Indonesia mampu mengurangi pembajakan
perangkat lunak sebanyak 10 persen pada tahun 2011.
Departemen Perdagangan menggolongkan industri
kreatif menjadi 14 kelompok, antara lain, periklanan, arsitektur, seni rupa,
kerajinan, desain, fashion, film,
musik, seni pertunjukan, percetakan dan penerbitan, serta riset dan
pengembangan, peranti lunak, penyiaran, dan permainan interaktif.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan tahun 2007, produktivitas
pekerja industri kreatif selama tahun 2002 sampai 2006 mencapai Rp 19,5 juta.
Besaran ini melebihi produktivitas nasional rata-rata, yang hanya mencapai
kurang dari Rp 18 juta. Industri fashion dan kerajinan tangan
memiliki kontribusi paling besar. Industri kreatif juga menyumbang
rata-rata 6,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama
tahun 2002 sampai 2006.
Maka dari itu perlu tindakan dari pemerintah untuk mendukung
industri kreatif di Indonesia dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dalam bidang industri kreatif dengan meningkatkan bidang pendidikan
industri kreatif di Indonesia. Tingkat pendidikan di bidang industri
kreatif yang maju akan menghasilkan produk-produk kreatif yang optimal.
Pencapaian pendidikan di bidang industri kreatif tidak bisa berdiri sendiri,
sangat juga ditentukan oleh kondisi ekonomi (industri) dan kebijakan
pemerintah.
Pendapat saya tentang HAKI: penerapan HAKI di Indonesia masih kurang karena sebagian besar masyarakat kita tidak mengetahui pentingnya HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) karena sebagian besar masyarat Indonesia adalah Masyarakat Agraris, sedangkan HaKI hanya banyak diperjuangkan oleh Masyarakat Perdagangan yang sebagian besar tinggal di daerah perkotaan. Selain dilatarbelakangi oleh faktor demografi, minimnya kesadaran perlindungan HaKI juga disebabkan karena kekecewaan masyarat terhadap pelaksanaan pengaturan HaKI. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya menekankan perlunya sosialisasi mengenai pentignya perlindungan HAKI kepada masyarakat dan menyarankan perlunya perbaikan kinerja dari penegak hukum dalam penindakan atas pelanggaran HAKI.
Refferensi :
gigspaly.com