Banyaknya
gugatan yang dihadapi oleh dokter dan rumah sakit akhir-akhir ini telah
menimbulkan perasaan cemas dunia kedokteran di Indonesia. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari transformasi masyarakat menuju litigious society atau
masyarakat yang semakin gemar menuntut.
Banyaknya tuntutan malpraktik tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan
di negara maju seperti Amerika Serikat, tuntutan malpraktik malah lebih banyak
lagi. Seringnya dokter/rumah sakit dituntut malpraktik berakibat pada banyaknya
rumah sakit yang menutup unit layanan tertentu karena tidak sanggup melayani
gugatan. Unit yang paling banyak digugat adalah unit kebidanan dan gawat darurat. Para dokter spesialis
kebidanan di negara bagian Nevada misalnya sampai enggan berpraktik sebab sebagian
besar pendapatannya habis untuk membayar premi asuransi malpraktik
.
Berdasarkan satu
penelitian independen yang dilakukan ditemukan fakta bahwa ribuan tuntutan malpraktik yang diajukan di
berbagai pengadilan di Amerika Serikat ternyata hanya segelintir kasus yang
sesungguhnya layak diproses secara hukum. Fakta ini berbanding lurus dengan
tingginya angka gugatan yang tidak dikabulkan oleh pengadilan. Dampaknya adalah
dokter yang dituntut meskipun kemudian dinyatakan tidak bersalah tetapi telah
jatuh miskin akibat banyaknya pengeluaran biaya berperkara di pengadilan
termasuk untuk membayar pengacara. Para dokter-dokter ini kemudian jarang yang
kembali berpraktik sebab selain tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar
biaya sewa tempat praktik, membayar gaji staf , juga pasti pasiennya akan
sangat berkurang sebab pemberitaan terus menerus selama proses hukum tentu
telah menghancurkan kredibilitasnya sebagai dokter dimata pasien. Melihat fakta
ini, ditambah tekanan dari para pekerja sektor kesehatan, presiden George W
Bush dengan persetujuan kongres menyetujui sebuah undang-undang untuk membentuk
satu lembaga (pretribunal) yang akan menilai apakah suatu tuntutan layak
diajukan ke pengadilan atau tidak. Kecemasan para dokter akan tuntutan hukum
yang dapat menimpanya setiap saat telah menjalar dikalangan dokter Indonesia,
tidak berlebihan kemudian kalau sejumlah dokter tidak berharap anaknya
bercita-cita menjadi dokter karena besarnya imbalan yang diterima oleh dokter
tidak sepadan dengan besarnya risiko hukum yang akan dihadapi.
Konflik antara
dokter dan pasien sesungguhnya dapat diminimalkan jika ada komunikasi yang sehat antara dokter dan pasien. Hampir
semua konflik antara dokter dan pasien biasanya muncul akibat adanya prakondisi
misalnya kena adanya efek samping yang tidak diinginkan (adverse event) akibat
obat atau tindakan medis yang diberikan. Konflik muncul karena adanya perbedaan
persepsi, komunikasi yang tidak nyambung serta karakter perorangan baik dari
dokter seperti sikap yang arogan, ketus,
enggan memberikan informasi atau dari pihak pasien seperti watak keras maupun
hobi memprotes. Prakondisi akan menjadi faktor pemicu yang selanjutnya menyulut
munculnya perbedaan persepsi atas efek samping pengobatan dan tindakan medis
yang diberikan oleh dokter terhadap pasien. Pasien sebagai orang awam tentu
tidak dapat memahami logika medis bahwa upaya pengobatan dan tindakan medis
merupakan upaya yang sarat dengan ketidak pastian. Hasil dari suatu pengobatan
dan tindakan medis bukanlah logika matematis yang dapat dihitung secara pasti
karena keberhasilan suatu pengobatan atau tindakan medis sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain diluar kontrol dokter seperti daya tahan tubuh
seseorang, mekanisme pertahanan tubuh, jenis penyakit, tingkat virulensi kuman,
stadium penyakit, kepatuhan pasien mengikuti prosedur dan nasihat
dokter/perawat, kualitas obat dan respon individual terhadap obat.
Respon individual
pasien terhadap obat perlu digaris bawahi karena obat inilah yang sering
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan mulai dari yang ringan sebatas
kemerahan yang gatal-gatal, sedang
seperti drug induce, berat seperti syndrome Steven Jhonson sampai yang
fatal yang dapat berakibat kematian seperti syok anafilaktif. Karena setiap
orang memiliki komposisi genetika yang berbeda maka seharusnya setiap obat yang
diproduksi harus sesuai susunan genetika setiap individu. Tentu saja obat
seperti ini sulit diproduksi karena sangat tidak ekonomis. Tentu sulit dicerna
secara ekonomis jika sebuah pabrik obat melakukan penelitian dan pengembangan
obat dengan biaya bermilyard-milyard hanya untuk seorang pasien saja misalnya.
Kalau kemudian ada obat yang diciptakan seperti itu, apakah pasien yang bernama
“ X” sanggup untuk membelinya. Oleh sebab itu obat kemudian diciptakan dengan hanya
mempertimbangkan bahwa secara umum dapat diterima oleh kebanyakan tubuh manusia
padahal setiap manusia memiliki tubuh yang unik yang mungkin akan bereaksi
berlebihan pada obat tertentu. Bahkan ada istilah delay hipersensitive yang
berarti reaksi berlebihan muncul belakangan, hal ini bisa terjadi pada orang
yang sebelumnya aman meminum obat tertentu tetapi dikemudian hari menjadi
alergi pada obat tersebut.
Kebanyakan
masyarakat menganggap bahwa upaya medis
yang dilakukan oleh dokter adalah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kesakitan
pasien sehingga keluarga pasien berpendapat kalau obat dan tindakan medis yang
diberikan sudah benar tidak seharusnya
pasien meninggal dunia, bertambah buruk kondisinya atau cacat. Faktanya, upaya
pengobatan dan tindakan medis yang terbaik dan termahal sekalipun tidak
menjamin seorang pasien sembuh. Bahkan tidak jarang seseorang (sengaja tidak
ditulis dokter) karena ada banyak orang yg memberikan pengobatan) melakukan
kesalahan diagnosis yang dengan sendirinya tentu saja memberikan obat yang
tidak tepat tetapi justru pasien sembuh
oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien
sendiri.
Pemahaman
yang kurang memadai tentang hakekat upaya pengobatan dan tindakan medis
tersebut masih diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hubungan hukum
dokter pasien. Tidak begitu banyak pasien atau keluarganya yang memahami
bahwa hubungan pasien dengan dokter/rumah sakit adalah hubungan sederajat
yang merupakan perikatan ikhtiar para pihak dengan hak dan kewajibannya
masing-masing. Konsekuensi dari perikatan ikhtiar ini adalah dokter/rumah
sakit tidak dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan),
melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya maksimal sesuai standar yang
berlaku, yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah
diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak
sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi
dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Tentu dengan mengikuti standar yang
berlaku, seorang dokter berharap pasiennya akan sembuh namun jika pada
kenyataan berlaku sebaliknya bahkan terjadi efek samping atau risiko medis,
tidak serta merta dokter atau rumah sakit harus dipersalahkan.Rangkaian
pengobatan yang diberikan oleh dokter/rumah sakit adalah suatu ikhtiar, sehingga dokter/rumah sakit tidak dapat menjanjikan
kesembuhan melainkan hanya berupaya memberikan usaha maksimal sesuai standar
pelayanan yang berlaku untuk kesembuhan pasien. Bahkan menurut kode etik
kedokteran, seorang dokter yang menjanjikan kesembuhan pada seorang pasien
dipandang telah melakukan pelanggaran etika dan akan mendapat sangsi disiplin
dari Ikatan Dokter Indonesia.
Sebab
lain yang menjadi pemicu sengketa adalah ketidakpahaman para pihak akan hak dan
kewajiban masing-masing. Dokter/Rumah Sakit sering lebih mengutamakan haknya
tetapi cenderung mengabaikan kewajibannya. Pada saat yang sama pasien hanya
menuntut haknya untuk dilayani tetapi tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti
membayar semua biaya pelayanan dan obat yang diterimanya. Padahal hak dan
kewajiban masing-masing pihak telah diatur dengan jelas oleh Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Hak pasien misalnya, mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek
samping, risiko, komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga
berhak untuk menolak pemeriksaan/pengobatan dan meminta pendapat dokter lain
sebagai pendapat kedua. Akan tetapi pasien juga punya kewajiban yang tidak
boleh diabaikannya seperti memberikan
informasi selengkap-lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi
peraturan yang ada di rumah sakit serta membayar semua biaya pelayanan
kesehatan yang telah diberikan. Undang-Undang yang sama juga mewajibkan
dokter untuk memberikan pelayanan sesuai standar layanan yang ada dan kebutuhan medis pasien, merujuk ke tempat
yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasien, merahasiakan rekam medik.
Namun hak dokter juga dijamin dalam hubungan dokter pasien yaitu menerima pembayaran atas jasa layanan
kesehatan yang diberikannya.
Dengan memahami
hak masing-masing seyogianya akan terjalin
komunikasi yang baik serta
menjamin adanya rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Pasien
maupun dokter/rumah sakit harus bersedia saling terbuka serta bersedia menerima
masukan agar program pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik. Para
dokter/rumah sakit harus paham bahwa pasien ketempat praktik atau ke
rumah sakit semata-mata datang untuk diobati dan sembuh bukan untuk mencari
masalah. Pasien pada saat yang sama harus memiliki pemahaman bahwa tidak ada
satupun dokter yang waras memiliki niat jahat untuk mencelakai pasiennya. Perlu
kebesaran jiwa seluruh pihak yang terkait untuk membangun rasa empati untuk
menyadari bahwa pasien dan keluarganya
sedang dalam kesusahan karena penyakitnya olehnya itu sangat wajar jika pasien
mudah marah, terlalu sensitif, atau manja. Namun mengingat jumlah dokter selalu
tidak seimbang dengan banyaknya pasien yang harus dilayaninya, pasien dan
keluarganya perlu maklum dan tidak perlu marah hanya karena tidak dilayani
sesuai keinginannnya karena barangkali pada saat pasien memerlukan kehadiran
dokter, saat itu dokter yang diperlukannya sedang berjuang menyelamatkan jiwa
pasien lainnya yang lebih memerlukan pertolongan.
Tanpa bermaksud
membela dokter dan rumah sakit, banyaknya gugatan yang kandas menimbulkan
anggapan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pengadilan. Banyak
pihak menuduh bahwa para saksi ahli yang juga dokter berpihak dengan memberikan
pertimbangan ilmiah yang menyesatkan mengingat seluruh dokter diikat oleh satu
etika kesejawatan. Namun dari pengamatan sepintas atas kasus yang dituduhkan
sebagai malpraktik, kandasnya gugatan justru karena lemahnya dalil yang
diajukan karena tidak didukung oleh logika medis dan logika hukum yang benar.
Kelemahan logika yang diajukan tampak dari upaya melakukan generalisasi bahwa
setiap akibat yang tidak dinginkan dalam pengobatan dan tindakan medis pastilah
sebuah malpraktik. Mestinya setiap efek yang tidak diinginkan jika timbul dalam
suatu upaya pengobatan dianalisa terlebih dahulu secara jernih kemudian dipilah
mengigat tidak identiknya efek yang tidak diinginkan dengan malpraktik. Kejadian munculnya efek yang tidak diinginkan
dapat dipilah apakah termasuk pidana, perdata ataukah sebuah kecelakaan medis
(misadventure).
Beberapa kasus yang menunjukkan lemahnya dalil yang digunakan pasien atau keluarganya menuntut antara lain seorang dokter dilaporkan ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang kelahirannya dibantu dengan vacuum extractie mengalami kelumpuhan otot leher. Kasus lain adalah seorang dokter dilaporkan ke polisi karena pasien mengalami Steven Johnson Syndrome akibat obat yang diberikan atau seorang juru imunisasi yang diproses secara hukum karena setelah memberikan suntikan imusisasi si bayi kemudian mengalami syok anafilaktik kemudian meninggal. Betul dalam ketiga contoh kasus tersebut ada unsur damage (kerugian) bagi pasien dan keluarganya, tetapi persoalannya apakah ada unsur dereliction of duty (kelalaian) yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut? Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine memberikan gambaran sekitar 2,9 % sampai 3,7 % pasien rawat inap mengalami kejadian yang tidak diinginkan yaitu perpanjangan perawatan, cacat tetap, alergi obat, infeksi sampai meninggal dunia. Menurut penelitian yang sama, 70 % kejadian yang tidak dinginkan disebabkan karena kesalahan yang tidak dapat dicegah olehnya itu tidak termasuk kategori pelanggaran hukum, 27,6 % adalah kejadian yang sesungguhnya dapat dicegah dengan demikian termasuk kategori malpraktik, 2,4 % tidak dapat ditentukan apakah dapat dicegah atau tidak dapat dicegah).
Beberapa kasus yang menunjukkan lemahnya dalil yang digunakan pasien atau keluarganya menuntut antara lain seorang dokter dilaporkan ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang kelahirannya dibantu dengan vacuum extractie mengalami kelumpuhan otot leher. Kasus lain adalah seorang dokter dilaporkan ke polisi karena pasien mengalami Steven Johnson Syndrome akibat obat yang diberikan atau seorang juru imunisasi yang diproses secara hukum karena setelah memberikan suntikan imusisasi si bayi kemudian mengalami syok anafilaktik kemudian meninggal. Betul dalam ketiga contoh kasus tersebut ada unsur damage (kerugian) bagi pasien dan keluarganya, tetapi persoalannya apakah ada unsur dereliction of duty (kelalaian) yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut? Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine memberikan gambaran sekitar 2,9 % sampai 3,7 % pasien rawat inap mengalami kejadian yang tidak diinginkan yaitu perpanjangan perawatan, cacat tetap, alergi obat, infeksi sampai meninggal dunia. Menurut penelitian yang sama, 70 % kejadian yang tidak dinginkan disebabkan karena kesalahan yang tidak dapat dicegah olehnya itu tidak termasuk kategori pelanggaran hukum, 27,6 % adalah kejadian yang sesungguhnya dapat dicegah dengan demikian termasuk kategori malpraktik, 2,4 % tidak dapat ditentukan apakah dapat dicegah atau tidak dapat dicegah).
Beberapa faktor yang perlu dikaji terlebih dahulu oleh pasien, keluarga pasien atau pengacara yang mewakilinya sebagai bahan untuk memahami logika hukum sebagai berikut:
1. Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan kontraktual sehingga semua azas dalam berkontrak berlaku khususnya itikad baik
2. Ikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan dokter-pasien hanya mewajibkan dokter memberikan upaya yang benar bukan hasil,
3. Kejadian yang tidak diinginkan tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktik karena pembuktian malpraktik menghendaki adanya unsur 4 D (Duty, Dereliction of duty, Damage dan Direct causation between damage and dereliction of duty) atau harus ada fakta yang benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur) seperti gunting yang tertinggal diperut pasien,
4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktik sepanjang dokter, dalam membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur.
Perlu dipahami bahwa bagian tersulit dari pekerjaan dokter adalah menegakkan diagnosis. Sekalipun telah banyak alat bantu diagnosis yang sangat canggih, keberadaan alat tersebut hanya bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Negara maju seperti Amerika Serikat pun kesalahan diagnosis tetap tinggi yakni mencapai 17 %. Hal paling penting sebenarnya adalah apakah kesalahan diagnosis tersebut terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak..
kesimpulan:
1. Keselamatan pasien adalah upaya untuk menghindari dan mencegah kejadian yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mut
2 Keselamatn pasien tidak hanya tertumpu pada perorangan,peralatan atau bagianya saja tetapi juga hasil interaksi dari berbagai komponen dan sistem.
3. Perlunya menjalin komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien untuk menghindari kesalapahaman.
sumber: http://suyuti1syamsul.blogspot.com/2013/08/sengketa-medis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar